Dalamkehidupansehariharipastikitaseringmenemukankebenarandankebetulan,
namunsebenarnyadaridua kata itusalingmemilikiartiataumakna
yang berbeda, misalnyasepertikebenaran, kebenaranadalahsuatufakta yang
memilikibukti yang
jelasdandapatterjadiberulangulangsedangkankebetulanadalahsuatukeadaan yang
tanpasengajaterjadidanhanyadapatterjadisesaat.
Kebenaran yang membuatkitamerasabenarsendiridanmenganggap orang lain yang berbedadengankitaadalahsalah, sesatdankafir, karenakebenaranhanyalahmilik Allah. Dalam Al-Qur'an Allah berfirman :"Jangankamumenganggapdirikamusuci, Dialah (Allah) yang lebihmengetahuisiapa yang bertaqwa" (QS. An-Najm :32). Kebenaran agama memangmutlaksebelumiabersentuhandengankebenaransosiologis. Begitukemutlakankebenaran Agama ituditafsirkanolehmanusiauntukditerapkandalamhidup (masyarakat), kemutlakanakansemakinmenurundanmenurun. Dari hasilpenafsiranmanusiatersebutlahirlahmazhab demi mazhab yang berbedapemahamantentangberbagaimacamcara-caraberagama, dandariakibatperbedaantersebutmuncullahpengikut-pengikutmerekasaatini yangsaling
menyalahkan,
salingmemvonissesat,kafirdalamperkaraperbedaantersebut.
Banyakayat Al-Qur’an danhadist yang menjelaskanbahwatidakada yang kebetulan di mukabumiini.Bahkansebuahkebetulan yang amatkebetulantetapsajamerupakansebuahrencanaTuhan yang tidakpernahmeleset.Jikakitatidakberhasilmenerjemahkantiapdetailnya, karenaterlalumegahnyarencanaTuhantersebut, itujelasbukankabarburuk.Setidaknyapastikansajakitasuksesmensyukuritiapdetikrencanatersebut.
Saatmenyatakankalimat ‘inikebetulan’ atausemacamnya, adaindikasikitamengungkapkanbahwahal yang dialamiterjaditidakdengantakdir Allah.Hal initentusajakeliru, pasalnya Allah SWT sudahmenakdirkanataumenetapkanhalitusebelumnya.Takmungkin Allah mengetahuibelakanganatausecarakebetulanmengetahuinya.Perludipahami, rukunberimanpadatakdiradaempatyaitukitameyakini Allah mengetahuisegalaperistiwasebelumterjadi, Allah telahmencatatnya, Allah menghendakinya, dan Allah menciptakannya. Hal inidijelaskandalam Al-Quran Surat At-Talaq:2-3.
“…Barangsiapabertakwakepada Allah niscayaDiaakanMengadakanbaginyajalankeluar. Dan memberinyarezkidariarah yang tiadadisangka-sangkanya.danBarangsiapa yang bertawakkalkepada Allah niscaya Allah akanmencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakanurusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telahMengadakanketentuanbagitiap-tiapsesuatu. (QS 65:2-3).
JugadijelaskandalamSurat Ali Imran: 190-191 berikutini:
Artinya: “Sesungguhnya, dalampenciptaanlangitdanbumi, danpergantianmalamdansiang, terdapattanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambilberdiri, duduk, ataudalamkeadaanberbaring, danmerekamemikirkantentangpenciptaanlangitdanbumi (serayaberkata), “YaTuhan kami, tidaklahEngkaumenciptakansemuainisia-sia; MahasuciEngkau, lindungilah kami dariazabneraka.” (QS. Ali-‘Imran: 190-191).
Seseorang yang mengetahuikebenaraninididalamhatinya, dapatmenyenangihalapapun yang iajalanidanberkah yang terdapat di balikhalitu. Banyak orang tidakmemikirkanbagaimanamerekaterciptaataupunmengapamerekaada.
Meskipunhatinuranimerekamembimbingmereka agar sadartentangkeajaibandansempurnanyadunia yang dimilikioleh Sang Pencipta, banyaksekalicinta yang merekarasakanuntukkehidupanduniaini, ataukeenggananmerekauntukmenghadapikebenaran, membawamerekauntukmenyangkalrealitasmengenaikeberadaan-Nya.
Merekamenolakbuktibahwasetiapkejadiandarihidupmerekatelahditentukansesuaidenganrencanadantujuan, tetapiperilakumerekamenunjukkanaksi yang salah, yaknimenganggaphal-hal yang terjadihanyalahkebetulanataupunkeberuntungan.
Kebenaran yang membuatkitamerasabenarsendiridanmenganggap orang lain yang berbedadengankitaadalahsalah, sesatdankafir, karenakebenaranhanyalahmilik Allah. Dalam Al-Qur'an Allah berfirman :"Jangankamumenganggapdirikamusuci, Dialah (Allah) yang lebihmengetahuisiapa yang bertaqwa" (QS. An-Najm :32). Kebenaran agama memangmutlaksebelumiabersentuhandengankebenaransosiologis. Begitukemutlakankebenaran Agama ituditafsirkanolehmanusiauntukditerapkandalamhidup (masyarakat), kemutlakanakansemakinmenurundanmenurun. Dari hasilpenafsiranmanusiatersebutlahirlahmazhab demi mazhab yang berbedapemahamantentangberbagaimacamcara-caraberagama, dandariakibatperbedaantersebutmuncullahpengikut-pengikutmerekasaatini yangsaling

Banyakayat Al-Qur’an danhadist yang menjelaskanbahwatidakada yang kebetulan di mukabumiini.Bahkansebuahkebetulan yang amatkebetulantetapsajamerupakansebuahrencanaTuhan yang tidakpernahmeleset.Jikakitatidakberhasilmenerjemahkantiapdetailnya, karenaterlalumegahnyarencanaTuhantersebut, itujelasbukankabarburuk.Setidaknyapastikansajakitasuksesmensyukuritiapdetikrencanatersebut.
Saatmenyatakankalimat ‘inikebetulan’ atausemacamnya, adaindikasikitamengungkapkanbahwahal yang dialamiterjaditidakdengantakdir Allah.Hal initentusajakeliru, pasalnya Allah SWT sudahmenakdirkanataumenetapkanhalitusebelumnya.Takmungkin Allah mengetahuibelakanganatausecarakebetulanmengetahuinya.Perludipahami, rukunberimanpadatakdiradaempatyaitukitameyakini Allah mengetahuisegalaperistiwasebelumterjadi, Allah telahmencatatnya, Allah menghendakinya, dan Allah menciptakannya. Hal inidijelaskandalam Al-Quran Surat At-Talaq:2-3.
“…Barangsiapabertakwakepada Allah niscayaDiaakanMengadakanbaginyajalankeluar. Dan memberinyarezkidariarah yang tiadadisangka-sangkanya.danBarangsiapa yang bertawakkalkepada Allah niscaya Allah akanmencukupkan (keperluan)nya. Sesungguhnya Allah melaksanakanurusan yang (dikehendaki)Nya. Sesungguhnya Allah telahMengadakanketentuanbagitiap-tiapsesuatu. (QS 65:2-3).
JugadijelaskandalamSurat Ali Imran: 190-191 berikutini:
Artinya: “Sesungguhnya, dalampenciptaanlangitdanbumi, danpergantianmalamdansiang, terdapattanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambilberdiri, duduk, ataudalamkeadaanberbaring, danmerekamemikirkantentangpenciptaanlangitdanbumi (serayaberkata), “YaTuhan kami, tidaklahEngkaumenciptakansemuainisia-sia; MahasuciEngkau, lindungilah kami dariazabneraka.” (QS. Ali-‘Imran: 190-191).
Seseorang yang mengetahuikebenaraninididalamhatinya, dapatmenyenangihalapapun yang iajalanidanberkah yang terdapat di balikhalitu. Banyak orang tidakmemikirkanbagaimanamerekaterciptaataupunmengapamerekaada.
Meskipunhatinuranimerekamembimbingmereka agar sadartentangkeajaibandansempurnanyadunia yang dimilikioleh Sang Pencipta, banyaksekalicinta yang merekarasakanuntukkehidupanduniaini, ataukeenggananmerekauntukmenghadapikebenaran, membawamerekauntukmenyangkalrealitasmengenaikeberadaan-Nya.
Merekamenolakbuktibahwasetiapkejadiandarihidupmerekatelahditentukansesuaidenganrencanadantujuan, tetapiperilakumerekamenunjukkanaksi yang salah, yaknimenganggaphal-hal yang terjadihanyalahkebetulanataupunkeberuntungan.
kebenaran
sesuatu yg cocok dengan sesungguhnya, sesuai sebagaimana seharusnya,
sesuatu yang benar/betul
imbuhan ke-an artinya hal atau keadaan, memang: memang benar
kebetulan
tidak sengaja terjadi, sesuatu yang terjadi tidak terduga, tidak ada yg merencanakan
tidak sengaja betul/benar
imbuhan ke-an artinya tidak sengaja
Perbedaan benar dan betul paling terlihat dalam
pemakaian kata-kata turunan keduanya. Pembetulan, misalnya,
berhubungan dengan otak-atik perkakas tukang servis; pembenaran berkait
dengan, antara lain, penilaian tentang pantas-tidaknya seorang keponakan
anggota DPR menjadi kontraktor renovasi ruang kantornya. Di sini pembenaran bisa
juga bermakna pembetulan, tapi pembetulan tidak biasa
dipakai dalam arti pembenaran.sesuatu yg cocok dengan sesungguhnya, sesuai sebagaimana seharusnya,
sesuatu yang benar/betul
imbuhan ke-an artinya hal atau keadaan, memang: memang benar
kebetulan
tidak sengaja terjadi, sesuatu yang terjadi tidak terduga, tidak ada yg merencanakan
tidak sengaja betul/benar
imbuhan ke-an artinya tidak sengaja
Begitu pula halnya dengan membetulkan dan membenarkan. ”Membetulkan komputer” sekadar mengacu pada apa yang dilakukan seseorang, apakah memang terjadi atau tidak; tapi ”membenarkan tindakan seorang hakim makan bersama berdua-duaan di restoran remang-remang dengan pengacara terdakwa dalam perkara yang sedang berlangsung” mengacu bukan hanya pada kejadiannya, melainkan terutama pada penilaian etis atasnya: adil atau tidak, patut atau tidak.
Perbedaan pemakaian ini bisa dipertajam untuk pembaca yang berbahasa Inggris: membetulkan adalah to correct, to repair, to revise; membenarkan, selain berarti sama dengan membetulkan, punya makna lain to justify, to legitimize, to confirm, dan, kadang-kadang, untuk pembenaran akal-akalan, to rationalize.
Begitu juga ada perbedaan antara kebetulan dan kebenaran. Kebetulan mengandung unsur ketidaksengajaan yang kuat. Kita tidak akan pernah mengatakan ”Kebetulan sekali setelah makan banyak saya jadi kenyang”, walaupun itu betul-betul terjadi karena kaitan makan dan kenyang bukanlah hal yang tidak terduga. Kebetulan jarang, kalau pernah, dipakai tanpa unsur ketidaksengajaan. Kebenaran juga bisa dipakai dalam arti ini. Namun, selain itu, kebenaran pun berarti sesuatu yang sungguh terjadi, atau kejadian yang berterima. ”Adalah kebenaran bahwa setelah makan banyak saya kenyang” merupakan kalimat yang wajar saja.
Sebenarnya dan sebetulnya tidak menunjukkan perbedaan demikian. Itu karena keduanya mengacu hanya pada fakta, sama dengan sesungguhnya. Sebenarnya tidak biasa diembel-embeli penilaian moral. Begitu pun kata dasar benar dan betul itu sendiri biasanya bisa dipertukarkan.
Jadi di sini kita melihat ada ketidaksimetrian di antara benar dan betul. Pembetulan/membetulkan biasanya berkait dengan sesuatu yang dianggap keliru secara faktual, seperti jawaban yang diberikan seorang siswa dalam ulangan; sedangkan pembenaran/membenarkan, selain bermakna sama seperti itu, juga dipakai sehubungan dengan sesuatu yang dianggap salah secara moral, seperti tindakan siswa mencuri-salin jawaban murid lain dalam tes.
Ngomong-ngomong soal ujian, apakah pembaca bisa memastikan bahwa berdasarkan pembedaan di atas, yang mana dari keadaan berikut yang pasti benar dan mungkin betul, dan yang mana belum tentu benar walaupun betul? Tidak keliru. Tidak berat sebelah. Jujur. Murni. Sah. Sungguh. Sejati. Legal. Mengiakan. Setia. Akurat. Memperbaiki. Dapatkah anda menjelaskan bahwa kenyataan ”Alibaba sudah terbukti mencuri uang untuk kampanye pemilihan atasannya”, apabila memang sungguh terjadi, bisa dibetulkan tapi tidak bisa dibenarkan?
Kata “Kebenaran” dapat digunakan sebagai suatu kata
benda yang konkrit
maupun abstrak.[1][1]
Menurut
Purwadarminta kebenaran mengandung beberapa arti, yakni 1.Keadaan (hal dan
sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya);
misal, kebenaran ini masih saya sangsikan; kita harus berani membela kebenaran
dan keadilan. 2. Sesuatu yang benar (sungguh-sungghu ada, betul-betul demikian
halnya dan sebagainya); misal kebenaran-kebenaran yang diajarkan oleh agama. 3.
Kejujuran; kelurusan hati; misal tidak ada seorangpun sangsi akan kebaikan dan
kebenaran hatimu. 4. Selalu izin; perkenanan; misal, dengan kebenaran yang
dipertuan. 5. Jalan kebetulan; misal, penjahat itu dapat dibekuk dengan secara
kebenaran saja.[2][2]
Kebenaran itu sendiri dapat diperoleh melalui pengetahuan
indrawi, pengetahuan akal budi, pengetahuan intuitif, dan pengetahuan
kepercayaan atau pengetahuan otoritatif. Apa yang disebut benar oleh seseorang
belum tentu benar bagi orang lain. Oleh karena itu diperlukan suatu ukuran atau
kriteria kebenaran.
Kriteria kebenaran tersebut dapat diperoleh dengan
cara melalui berpikir. Karena berpikirlah yang dapat dijadikan sebagai alat
untuk mendapatkan pengetahuan.
B. JENIS-JENIS KEBENARAN
Telaah dalam filsafat ilmu, membawa orang kepada
kebenaran dibagi dalam tiga jenis. Menurut A.M.W. Pranaka tiga jenis kebenaran
itu adalah 1. Kebenaran epistimologikal; 2. Kebenaran ontologikal; 3. Kebenaran
semantikal.[3][3]
Kebenaran epistimologikal adalah pengertian
kebenaran dalam hubungannya dengan pengetahuan manusia. Kebenaran dalam arti
ontoligikal adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala
sesuatu yang ada ataupun diadakan. Sifat dasar ini ada dalam objek pengetahuan.
Kebenaran semenatikal adalah kebenaran yang terdapat serta melekat di dalam tutur
kata dan bahasa. Kebenaran seantikal disebut juga kebenaran moral.
Surajiyo lebih lanjut menguraikan bahwa apabila
epistemological terletak didalam adanya kemanunggalan yang sesuai,
serasi,terpadu antara yang dinyatakan oleh proses cognitif intelektual manusia
dengan apa yang sesungguhnya ada didalam objek (esse reale rei), apakah itu
konkret atau abstrak, maka implikasinya adalah bahwa didalam (esse reale rei)
tersebut memang terkandung sifat intelligibilitas (dapat diketahui
kebenarannya). Hal adanya intelligibilitas sebagai kodrat yang melekat didalam
objek,didalam benda, barang, makhluk dan sebagainya sebagai objek potensial
maupun riil dari pengetahuan cognitive intelektual manusia itulah yang disebut
kebenaran yang ontological, ialah sifat benar yang melekat dialam objek.
C. SIFAT KEBENARAN
Kebenaran mempunyai sifat-sifat tertentu apabila
dilihat dari segi kualitas pengetahuannya. Secara kualitas ada empat macam
pengetahuan yaitu: pertama, Pengetahuan biasa, pengetahuan ini mempunyai
sifat subjektif. Artinya amat terikat pada subjek yang mengenal. Kedua,
Pengetahuan ilmiah, pengetahuan ini bersifat relatif. Artinya kandungan
kebenaran dari jenis pengetahuan ilmiah selalu mendapatkan revisi yaitu selalu
diperkaya oleh hasil penemuan yang paling mutakhir.
Ketiga,
pengetahan filsafat, yaitu jenis pengetahuan yang pendekatannya melalui
metodologi pemikiran filsafat, yang sifatnya mendasa dan menyekuruh dengan
model pemikiran yang analitis, kritis, dan spekulatif. Kebenaran ini bersifat
absolut-intersubjektif. Keempat,
pengetahuan agaama. Pengetahuan agama mempunyai sifat dogmatis, artinya
pernyataan dalam suatu agama selalu dihampiri oleh keyakinan.
Kebenaran
mempunyai banyak aspek, dan bahkan bersama ilmu dapat didekati secara terpilah
dan hasil yang bervariasi atas objek yang sama. Popper memandang teori adalah
sebagai hasil imajinasi manusia, validitasnya tergantung pada persetujuan
antara konsekuensi dan fakta observasi.[4][4]
1.
Evolusionisme
Suatu teori
adalah tidak pernah benar dalam pengertian sempurna, paling bagus hanya
berusaha menuju ke kebenaran. Thomas Kuhn berpandangan bahwa kemajuan ilmu
tidaklah bergerak menuju ke kebenaran, jadi hanya berkembang. Sejalan dengan
itu Pranarka melihat ilmu selalu dalam proses evolusi apakah berkembang ke arah
kemajuan ataukah kemunduran, karena ilmu merupakan hasil aktivitas manusia yang
selalu berkembang dari zaman ke zaman.
2.
Falsifikasionis
Popper dalam
memecahkan tujuan ilmu sebagai pencarian kebenaran ia berpendapat bahwa ilmu
tidak pernah mencapai kebenaran, paling jauh ilmu hanya berusaha mendekat ke
kebenaran. Menurutnya teori-teori lama yang telah diganti adalah salah bila
dilihat dari teori-teori yang berlaku sekarang atau mungkin kedua-duanya salah,
sedangkan kita tidak pernah mengetahui apakah teori sekarang itu benar. Yang
ada hanyalah teori sekarang lebih superior dibanding dengan teori yang telah
digantinya.
3.
Relativisme
Relativisme
berpandangan bahwa bobot suatu teori harus dinilai relative dilihat dari
penilaian individual atau grup yang memandangnya. Feyerabend memandang ilmu
sebagai sarana suatu masyarakat mempertahankan diri, oleh karena itu kriteria
kebenaran ilmu antar masyarakat juga bervariasi karena setiap masyarakat punya
kebebasan untuk menentukan kriteria kebenarannya.
4.
Objektivisme
Apa yang
diartikan sebagai “benar” ketika kita mengklaim suatu pernyataan adalah sebagaimana yang Aristoteles
artikan yaitu ”sesuai dengan keadaan“: pernyataan benar adalah “representasi
atas objek” atau cermin atas itu. Tarski menekankan teori kebenaran korespondensi
sebagai landasan objektivitas ilmu, karena suatu teori dituntut untuk memenuhi
kesesuaian antara pernyataan dengan fakta. Teori kebenaran yang diselamatkan
Tarski merupakan suatu teori yang memandang kebenaran bersifat “objektif”,
karena pernyataan yang benar melebihi dari sekedar pengalaman yang bersifat
subjektif. Ia juga “absolut” karena tidak relatif terhadap suatu anggapan atau
kepercayaan.
D. CARA PENEMUAN KEBENARAN
Cara untuk menemukan kebenaran berbeda-beda. Dari
berbagai cara untuk menemukan kebenaran
dapat dilihat cara yang ilmiah dan yang nonilmiah. Cara untuk menemukan
kebenaran sebagaimana diuraikan oleh Hartono Kasmadi, dkk., sebagai berikut.[5][5]
1. Penemuan secara
Kebetulan
Penemuan kebenaran secara kebetulan adalah penemuan
yang berlangsung tanpa disengaja. Cara ini tidak dapat diterima dalam metode
keilmuan untuk menggali pengetahuan atau ilmu.
2. Penemuan ‘Coba dan
Ralat’ (Trial and Eror)
Penemuan coba dan ralat terjadi tanpa adanya
kepastian akan berhasil atau tidak berhasil kebenaran yang dicari. Penemuan ini
mengandung unsur spekulatif atau ‘untung-untungan’. Cara coba dan ralat ini pun
tidak dapat diterima sebagai cara ilmiah dalam usaha untuk mengungkapkan
kebenaran.
3. Penemuan Melalui
Otoritas atau Kewibawaan
Pendapat orang-orang yang memiliki kewibawaan,
misalnya orang-orang yang mempunyai kedudukan dan kekuasaan sering diterima
sebagai kebenaran meskipun pendapat itu tidak didasarkan pada pembuktian
ilmiah.
4. Penemuan Kebenaran
Lewat Cara Berpikir Kritis dan Rasional
Dalam menghadapi masalah, manusia berusaha
menganalisisnya berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki untuk
sampai pada pemecahan yang tepat.
5. Penemuan Kebenaran
melalui Penelitian Ilimah
Cara mencari kebenaran yang dipandang ilmiah ialah
yang dilakukan melalui penelitian. Penelitian adalah penyaluran hasrat ingin
tahu pada manusia dalam taraf keilmuan
E. TEORI KEBENARAN ILMIAH
Kebenaran ilmiah maksudnya adalah suatu pengetahuan
yang jelas dan pasti kebenarannya menurut norma-norma keilmuan. Kebenaran
ilmiah cenderung bersifat objektif, didalamnya terkandung sejumlah pengetahuan
menurut sudut pandang yang berbeda-beda, tetapi saling bersesuaian.[6][6] Kebenaran ilmiah diperoleh secara
mendalam berdasarkan proses penelitian dan penalaran logika ilmiah.
Kebenaran ilmiah tidak datang tiba-tiba, atau
mendadak, kebenaran ilmiah akan muncul setelah diroses dengan mekanisme ilmiah
juga. Maka kebenaran ilmiah merupakan kebenaran yang telah diuji keabsahannya,
baik secara nalar maupun empirik, sehingga memiliki landasan yang kuat untuk
dianggap benar, selama tidak digugurkan oleh kebenaran ilmiah lainnya yang
lebih terandalkan.
Banyak sekali para ahli yang berpendapat mengenai
teori kebenaran. Dalam makalah ini akan dijelaskan teori kebenaran ilmiah
menurut Michael Williams. Menurutnya ada lima teori kebenaran, yaitu 1)
kebenaran koherensi, 2) kebenaran korespondensi, 3) kebenaran pragmatis, 4)
kebenaran performatif, 5) dan kebenaran proporsi.[7][7]
1. Kebenaran
Korespondensi
Teori kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran
yang paling awal dan paling tua. Teori ini berpandangan bahwa suatu proporsi
bernilai benar apabila saling berkesesuaian dengan dunia kenyataan.[8][8] Kebenaran adalah yang bersesuaian dengan
fakta, yang berselaras dengan realitas, yang serasi dengan situasi aktual.[9][9] Dengan demikian kebenaran ini mencoba
untuk membutikan kemanunggalan antara subjek dan objek.
Teori koresponden menggunakan logika induktif,
artinya metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal
khusus ke umum. Dengan kata lain kesimpulan akhir ditarik karena ada
fakta-fakta mendukung yang telah diteliti dan dianalisa sebelumnya. Contohnya,
Jurusan tarbiyah, jurusan syari’ah, dan jurusan ushuludin STAIN Pekalongan ada
di Jl. Kusuma Bangsa. Jadi kampus STAIN Pekakongan ada di Jl. Kusuma Bangsa.
Contoh lain dari kebenaran ini adalah air akan
menguap jika dipanasi sampai 100 derajat. Pengetahuan ini akan dinyatakan benar
apabila dilakukan uji coba memanaskan air dengan suhu 100 derajat. Jika air
tersebut tidak menguap maka pengetahuan tersebut dinyatakan salah. Jika menguap
berarti pengetahuan tersebut dinyatakan benar.
Contoh
lagi,
“Al-Quran diturunkan dalam bahasa Arab”. Ini adalah benar, karena jika didapati
bahwa Al-Quran tertua berbahasa Yunani, maka konteks kebenaran Islam menurut
Teori Kesesuaian ini adalah gagal. “Apakah pernyataan dalam Al-Quran sesuai
dengan kenyataan atau realitas?”
Banyak fenomena-fenomena alam yang sudah menjadi bukti tentang hal ini. Faktanya seluruh alam semesta berasal dari
satu buah atom kecil yang meledak (Big Bang) menjadi banyak planet dan sebagainya.
Teori Big Bang ini ditemukan oleh Hobble pada abad ke 20 yaitu tahun
1929. Teori ini sesuai dengan al-Qur’an yang berbunyi :
“Dan apakah orang-orang kafir tidak
mengetahui bahwa langit dan bumi dahulu keduanya menyatu, kemudian kami
pisajkan antara keduanya” (QS. Al Anbiya’ : 30)[10][10]
“Dan apakah
orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya
dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya”. (QS. Al
Anbiya’ : 30)[11][11]
Dengan demikian,
Al-Quran yang ada sejak abad ke 7 ini sesuai dengan perkembangan sains pada
abad ke 20. Maka
Islam adalah benar menurut Teori Korespondensi.
2. Kebenaran Koherensi
Teori kebenaran koherensi ini biasa disebut juga
dengan teori konsitensi. Pengertian dari teori kebenaran koherensi ini adalah
teori kebenaran yangØ medasarkan suatu kebenaran pada adanya
kesesuaian suatu pernyataan dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah
lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui kebenarannya. Sederhanya dari teori
ini adalah pernyataan dianggap benar apabila bersifat koheren atau konsisten
dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.[12][12]
Menurut teori ini putusan yang satu dengan putusan
yang lainnya saling berhubungan dan saling menerangkan satu sama lain.
Karenanya lahirlah rumusan: Truth is a systematic coherence kebenaran adalah
saling hubungan yang sistematis; Truth is consistency kebenaran adalah
konsistensi dan kecocokan.[13][13] Adapun pencetus teori ini adalah Plato
dan Aristoteles.
Teori koheren menggunakan logika deduktif, artinya
metode yang digunakan dalam berpikir dengan bertolak dari hal-hal umum ke
khusus. Contohnya, seluruh mahasiswa STAIN Pekalongan harus mengikuti kegiatan
TASKA. Mudzakir adalah mahasiswa STAIN, jadi harus mengikuti kegiatan TASKA.
Contoh lain dari kebenaran ini adalah (1) semua
manusia pasti mati. (2) socrates adalah manusia. (3) Sokrates pasti mati.
Kebenaran (3) hanya merupakan implikasi logis dari sistem pemikiran yang ada,
yaitu bahwa (1) semua manusia pasti mati, dan (2) socrates adalah manusia.
Dalam arti ini, kebenaran (3) sebenarnya sudah terkandung dalam kebenaran (1).
Oleh karena itu, kebenaran (3) tidak ditentukan oleh apakah dalam kenyatannya
sokrates mati atau tidak.[14][14]
Contoh lagi,
“Ali bin Abu Thalib adalah menantu dari Rasulullah shallallahu’alaihiwasallam”. Pernyataan ini kita ketahui dari
“Sirah Nabawiyyah”. Maka yang disebut koheren (sesuai) dengan pernyataan
sebelumnya adalah: Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam telah menjadikan Ali
bin Abi Thalib sebagai menantu beliau, Ali bin Abi Thalib menikahi Fatimah,
Fatimah adalah putri dari Rasulullah, dan Ali bin Abi Thalib menikahi putri
Rasulullah. Dari pernyataan ini,
maka dinilai koheren (sesuai) adanya, karena tidak terdapat
pertentangan alias Kontradiksi. Karena apapun yang kontradiksi tidaklah dapat
dipertanggungjawabkan kebenarannya.
3. Kebenaran Pragmatis
Perintis teori ini adalah Charles S. Pierce yang
dikembangkan lebih lanjut oleh William James dan John Dewey. Menurut James yang
benar adalah yang konkrit, yang individual, dan yang spesifik. Sementara menurut
Dewey kebenaran pragmatis itu kebenaran yang mempunyai kegunaan praktis.[15][15]
Contohnya, Yadi mau bekerja di sebuah perusahaan
minyak karena diberi gaji tinggi. Yadi bersifat pragmatis, artinya mau bekerja
di perusahaan tersebut karena ada manfaatnya bagi dirinya, yaitu mendapatkan
gaji tinggi.
Contoh lain, Budi ingin kuliyah di STAIN Pekalongan
tapi dengan niat ingin mendapatkan jodoh, tanpa ada niatan untuk mencari ilmu.
Budi bersifat pragmatis. artinya mau kuliyah
tapi karena menginginkan manfaat untuk dirinya, yaitu mendapatkan jodoh.
4. Kebenaran
Performatif
Menurut teori ini, suatu pernyataan kebenaran
bukanlah kualitas atau sifat sesuatu, tatapi sebuah tindakan (performatif).
Untuk menyatakan sesuatu itu benar, maka cukup melakukan tindakan konsesi (setuju/menerima/
membenarkan) terhadap gagasan yang telah dinyatakan.[16][16]
Teori
ini dianut oleh filsuf Frank Ramsey, John Austin dan Peter Strawson. Para
filsuf ini hendak menentang teori klasik bahwa “benar” dan “salah” adalah
ungkapan yang hanya menyatakan sesuatu. Proposisi yang benar berarti proposisi
itu menyatakan sesuatu
yang memang dianggap benar. Menurut teori ini, suatu
pernyataan dianggap benar jika
ia menciptakan realitas. Jadi pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang
mengungkapkan realitas, tetapi justeru dengan pernyataan itu tercipta realitas
sebagaimana yang diungkapkan dalam pernyataan itu.[17][17]
Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau
dikemukakan oleh pemegang otoritas tertentu. Contoh pertama mengenai penetapan
1 Syawal. Sebagian muslim di Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau
pemerintah, sedangkan sebagian yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau
organisasi tertentu. Contoh kedua adalah pada masa rezim orde lama berkuasa, PKI
mendapat tempat dan nama yang baik di masyarakat. Ketika rezim orde baru, PKI
adalah partai terlarang dan semua hal yang berhubungan atau memiliki atribut
PKI tidak berhak hidup di Indonesia.
5. Kebenaran Proporsi
Menurut Aristoteles, proposisi (pernyataan)
dikatakan benar apabila sesuai dengan persyaratan formal suatu proposisi. Menurut teori ini, suatu pernyataan
disebut benar apabila sesuai dengan persyaratan materilnya suatu proposisi,
bukan pada syarat formal proposisi. Kebenaran ini akan sangat tergantung pada
situasi dan kondisi yang melatarinya, pengalaman, kemampuan, dan usia
mempengarauhi kepemilikan epistimo tentang kebenaran.[18][18]
Proposisi adalah kalimat deklaratif yang bernilai
benar (true) atau salah (false), tetapi tidak dapat sekaligus keduanya.
Kebenaran atau kesalahan dari sebuah kalimat disebut nilai kebenarannya (truth
value). Contoh berikut ini dapat mengilustrasikan kalimat yang merupakan kebenaran proposisi: 6 adalah bilangan genap, Soekarno adalah Presiden Indonesia yang pertama, 2 + 2 = 4. Sementara contoh berikut adalah contah yang salah:
ibu kota Jawa Tengah adalah Pekalongan,
seharusnya ibu kota Jawa Tengah adalah Semarang.
F.
AGAMA
SEBAGAI TEORI KEBENARAN
Manusia adalah makhluk pencari kebenaran. Salah satu
cara untuk menemukan suatu kebenaran adalah melalui agama. Agama dan
karakteristiknya sendiri meberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang
dipertanyakan manusia, baik tentang alam, manusia, maupun tentang Tuhan. Kalau
teori yang lain mengutamakan akal, budi, rasio manusia, dalam agama yang
dikedepankan adalah wahyu yang bersumber dari Tuhannya.[19][19]
Dalam mencapai ilmu pengetahuan yang benar dengan
berfikir setelah melakukan penyelidikan, pengalaman dan percobaan sebagai teori
trial and error. Sedangkan manusia mencari-mencari dan menentukan kebenaran
sesuatu dalam agama dengan jalan mempetanyakan atau mencari jawaban tentang
berbagai masalah asasi dari atau kepada kitab Suci. Dengan demikian sesuatu
dianggap banar apabila sesuai dengan ajaran agama atau sebagai wahyu sebagai
penentu kebenaran mutlak, oleh karena itu sangat wajar ketika Imam Al-ghazali
merasa tidak puas dengan penemuan-penemuan akalnya. Dalam mencari kebenaran.
G.
TINGKATAN KEBENARAN
Dalam kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi
rohaniah. Manusia di dalam kepribadian dan kesdarannya tidak mungkin hidup
tanpa kebenaran. Berdasarkan potensi subyek, maka macam – macam tingkatan
kebenaran sebagai berikut :
- Tingkatan kebenaran indera adalah tingkatan yang paling sederhana dan pertama yang dialami manusia.
- Tingkatan ilmiah merupakan pengalaman-pengalaman yang didasarakan melalui indera, diolah dengan rasio.
- Tingkatan filosofi, rasio dan pikiran murni, serta renungan yang yang mendalam untuk mengolah suatu kebenaran agar semakin tinggi nilainya.
- Tingkatan religius merupakan kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas iman dan kepercayaan masing-masing.
KESIMPULAN
Proses pencarian kebenaran
adalah suatu kegiatan yang sangat mulia. Melalui sifat kebenaran yang
falsibilitas, menjadikan seseorang akan terus haus ilmu pengetahuan sehinggan
paradigma keilmuan akan semakin berkembang.
Kebenaran
dapat dikatakan benar jika terbukti dan dipercayai bahwa sesuatu itu benar. Akan tetapi, kebenaran yang kita
sebut ilmu pengetahuan bukanlah kebenaran yang hakiki. Kebenaran tersebut suatu
saat akan berganti dengan kebenaran lain yang lebih benar. Tapi, jika kita
menggali sesuatu sedalam-dalamnya, kita akan mengetahui bahwa ilmu pengetahuan
adalah kebenaran yang relatif. Dan akhirnya kita akan menemukan kebenaran yang
mutlak yang berada di luar jangkauan kita. yakni kebenaran yang bersumber dari wahyu.
DAFTAR
PUSTAKA
Bakhtiar,
Amsal.
Filsafat Ilmu.
Jakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
2011.
Hamami,
Abas. Sekitar
Masalah Ilmu. Surabaya: Bina Ilmu. 1980.
Keraf,
A. Sonny.
Ilmu Pengetahuan,
Sebuah Tinjauan Filosofis. Yogyakarta: Kanisius. 2001.
Muhadjir,
Noeng.
Filsafat Ilmu, Telaah
Sistematis Fungsional Komparatif. Yogyakarta: Rake Sarasin. 1998.
Surajiyo. Filsafat Ilmu dan Perkembangannya
di Indonesia. Jakarta:
PT Bumi Aksara.
2010.
Susanto, A. Filsafat Ilmu, Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan
Aksiologis. Jakarta: Bumi Aksara. 2013.
Suriasumantri,
Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Karya Uni Press. 1993.
http://nur-alqalbi.blogspot.com/2013/03/teori-teori-kebenaran-korespondensi.html, diunduh pada tanggal 24 Oktober 2014.
http://www.bisosial.com/2012/06/makalah-filsafat-ilmu-tentang-teori.html, diunduh pada tanggal 24 Oktober 2014.
Departemen
Agama RI. Al Qur’an dan Terjemahnya. Bandung: PT Sigma Ikasa Media.
2009.
Mujamma’
Malik Fahd Li Thiba’at Al Mushaf Asysyarif. Komplek Percetakan Al Qur’anul
Karim Kepunyaan Raja Fahd. Madinah:
1971.
[2][2]
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan
Perkembangannya di Indonesia, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2010), cet. Ke-5, h. 102.
[3][3]
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan
Perkembangannya di Indonesia, h. 102.
[4][4]
http://www.bisosial.com/2012/06/makalah-filsafat-ilmu-tentang-teori.html, diunduh pada tanggal 24 Oktober
2014.
[5][5]
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan
Perkembangannya di Indonesia, h.100-101.
[6][6]
A. Susanto, Filsafat Ilmu, Suatu Kajian
dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis, (Jakarta: Bumi
Aksara, 2013), cet. Ke-3,
h. 85.
[7][7]
A. Susanto, Filsafat Ilmu, Suatu Kajian
dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis, h. 86.
[8][8]
Surajiyo, Filsafat Ilmu dan
Perkembangannya di Indonesia, h. 105.
[9][9]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu,
(Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), cet. Ke-10, h. 112-113.
[10][10] Departemen
Agama RI, Al Qur’an dan Terjemahnya, (Bandung: PT Sigma Ikasa Media,
2009), h. 324.
[11][11] Mujamma’ Malik
Fahd Li Thiba’at Al Mushaf Asysyarif (Komplek Percetakan Al Qur’anul Karim
Kepunyaan Raja Fahd), (Madinah: 1971),
h. 499.
[12][12]
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer,
(Jakarta: Karya Uni Press, 1993), h. 57-59.
[13][13]
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, h.
116.
[14][14]
A. Sonny Keraf, Ilmu Pengetahuan, Sebuah
Tinjauan Filosofis, (Yogyakarta: Kanisius, 2001), cet. Ke-12, h. 68.
[15][15]
Noeng Muhadjir, Filsafat Ilmu, Telaah Sistematis
Fungsional Komparatif, (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998), h. 16.
[16][16]
. Susanto, Filsafat Ilmu, Suatu Kajian
dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis, h. 87.
[17][17]
http://nur-alqalbi.blogspot.com/2013/03/teori-teori-kebenaran-korespondensi.html, diunduh pada tanggal 24 Oktober
2014.
[18][18]
Susanto, Filsafat Ilmu, Suatu Kajian
dalam Dimensi Ontologis, Epistimologis, dan Aksiologis, h. 88.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar